Beberapa waktu lalu, berbagai media menyoroti kerusakan lingkungan di Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel. Namun, di balik ramainya pemberitaan seputar pariwisata dan lingkungan, dampak sosial terhadap masyarakat adat dan perempuan sering kali luput dari perhatian. Padahal, ekspansi tambang nikel di Indonesia, meski berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, juga memicu deforestasi, pencemaran, serta pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap perempuan dan masyarakat adat yang kehilangan tanah, sumber air bersih, dan identitas budaya mereka.

Figur 1. Pangsa produksi nikel (hasil tambang/bahan mentah dan material olahan. Sumber: NRGI (2025).
Indonesia saat ini menjadi produsen nikel terbesar di dunia, didorong oleh lonjakan permintaan global untuk baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan produksi baja tahan karat. Data (Figur 1) menunjukkan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara penghasil nikel tertinggi, dengan pangsa produksi nikel (baik hasil tambang/bahan mentah maupun material olahan) yang terus meningkat dari tahun 2020 hingga 2023. Pertambangan nikel di Indonesia banyak dilakukan di wilayah bagian timur, dengan total 161 izin tambang di Sulawesi Tenggara, 133 izin di Sulawesi Tengah, 55 izin di Maluku Utara, serta sejumlah izin lainnya di berbagai daerah, mencakup total konsesi lahan seluas 865.723 hektar.

Figur 2. Persebaran tambang nikel di Indonesia. Sumber: JATAM (n.d.)
Peningkatan produksi nikel setiap tahun mencerminkan tingginya permintaan global terhadap komoditas ini, seiring dengan kebutuhan bahan baku untuk mendukung transisi menuju energi hijau. Transisi tersebut bertujuan mengurangi emisi karbon melalui pengembangan teknologi yang lebih ramah lingkungan.
Di balik kemajuan ini, terdapat isu mendasar yang tidak boleh diabaikan: transisi energi hijau tidak seharusnya mengorbankan keadilan sosial dan lingkungan. Sayangnya, ekspansi tambang nikel di berbagai wilayah Indonesia telah memicu deforestasi masif, pencemaran lingkungan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Peningkatan produksi yang signifikan juga memperbesar risiko pelanggaran terhadap hak-hak perempuan dan masyarakat adat, yang sering kali terpinggirkan dalam proses ekspansi pertambangan.
Inilah aspek penting yang kerap luput dari pemberitaan viral mengenai pertambangan di Raja Ampat; dampak spesifik terhadap perempuan dan masyarakat adat. Mereka kehilangan lahan, akses air bersih, serta kearifan lokal akibat perampasan tanah dan polusi tambang nikel, yang pada akhirnya memperburuk ketimpangan gender serta mengancam identitas budaya dan ketahanan pangan mereka.
Ketidakadilan terhadap Masyarakat Adat
Di Halmahera, keberadaan Weda Bay Industrial Park (IWIP) menjadi contoh nyata ketidakadilan yang dialami Masyarakat Adat. Pembebasan lahan dilakukan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC). Akibatnya, muncul dampak lingkungan dan sosial yang serius. Air laut dan sungai tercemar oleh limbah tambang, minyak mesin, serta air panas dari pembangkit listrik tenaga batu bara. Air yang kadang berubah kemerahan diduga mengandung logam berat berbahaya, memaksa nelayan seperti Max Sigoro melaut lebih jauh dengan risiko lebih tinggi dan biaya lebih besar karena hasil tangkapan menurun.
Deforestasi masif, lebih dari 5.300 hektar hutan tropis hilang, memperburuk krisis iklim, menyebabkan banjir, dan menghancurkan keanekaragaman hayati. Polusi udara dari pembangkit batu bara juga memicu gangguan pernapasan dan penyakit kulit di kalangan warga. Secara sosial, komunitas lokal seperti Maklon Lobe kehilangan tanah tanpa persetujuan atau kompensasi yang adil. Lahan pertanian mereka dirampas dan dihancurkan oleh IWIP, disertai intimidasi aparat keamanan. Cara hidup tradisional sebagai nelayan, petani, dan pemburu perlahan terhapus, sementara kurangnya transparansi dari perusahaan dan pemerintah memperburuk ketidakpercayaan.
Bagi Masyarakat Adat seperti Novenia Ambuea, kehilangan tanah berarti kehilangan hubungan spiritual dengan leluhur. Tanah adat mereka kini dikepung konsesi tambang tanpa adanya konsultasi atau persetujuan sebagaimana diamanatkan oleh hukum internasional (Climate Rights International, 2024).
Situasi serupa terjadi di Pulau Gag, Raja Ampat, di mana aktivitas tambang nikel oleh PT Gag Nikel sejak 1972 telah merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal. Padahal, UU No. 1/2014 melarang pertambangan di pulau kecil seperti Gag yang hanya seluas 65 km². Lebih dari 500 hektar hutan tropis telah ditebang, menyebabkan sedimentasi lumpur beracun yang mencemari perairan pesisir dan mengancam terumbu karang; jantung ekosistem Raja Ampat.
Nelayan kini harus melaut hingga 80 kilometer untuk mencari ikan akibat menipisnya stok dan rusaknya habitat laut. Abrasi pantai semakin parah karena penambangan pasir, meningkatkan risiko tenggelamnya pulau di tengah kenaikan permukaan laut. Petani kehilangan lahan tanpa kompensasi yang layak, sementara sumber air bersih tercemar lumpur, memaksa warga membeli air mahal atau menghadapi gagal panen karena air sungai yang beracun. Tekanan dari aparat terhadap warga yang menolak tambang menambah penderitaan, dan minimnya transparansi perizinan memicu tuduhan korupsi.
Meski empat izin tambang di pulau lain berhasil dicabut pada 2024 melalui kampanye #SaveRajaAmpat, PT Gag Nikel masih beroperasi, menimbulkan kekhawatiran akan kerusakan permanen terhadap keanekaragaman hayati Papua (Bagaskara, 2025).
Dimensi Gender dari Dampak Pertambangan
Hilirisasi nikel dan ekspansi industrinya yang masif sering diklaim berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan, “Hilirisasi berhasil menciptakan sumber pertumbuhan baru di luar Jawa. Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara tumbuh signifikan ditopang hilirisasi nikel, masing-masing tumbuh 6,4% dan 6,9% pada 2023, jauh di atas pertumbuhan nasional” (CNBC Indonesia, 2024).
Namun, realitas di lapangan menunjukkan gambaran berbeda. Sulawesi Tengah, salah satu penghasil nikel terbesar di Indonesia, justru mencatat kenaikan angka kemiskinan. Berdasarkan data BPS (17 Juli 2023), tingkat kemiskinan di provinsi tersebut meningkat dari 12,30% pada 2022 menjadi 12,41% pada 2023.
Temuan ini menunjukkan bahwa hilirisasi nikel tidak otomatis membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal, melainkan justru menimbulkan bentuk kesenjangan baru antara pertumbuhan ekonomi makro dan kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar tambang.

Gambar 1. Aktivitas tambang nikel di Sulawesi. Sumber: Nanang Sugi.
Kesenjangan dalam industri nikel juga memiliki dimensi tersendiri, terutama terkait dengan posisi dan peran perempuan yang menjadi bagian integral dari rantai eksploitasi tenaga kerja. Eksploitasi terhadap buruh perempuan di sektor ini berkontribusi pada feminisasi kemiskinan, sebuah istilah yang digunakan Scott (1984) untuk menggambarkan kondisi ekonomi rapuh yang dialami perempuan, khususnya mereka yang menjadi penopang utama ekonomi keluarga (Ollenburger & Moore, 2002:124).
Industri nikel di Morowali menjadi contoh nyata ketimpangan gender yang terus berulang. Banyak pekerja perempuan menghadapi jam kerja panjang, hari libur yang minim, dan upah rendah. Kondisi kerja yang tidak aman, termasuk kurangnya perlindungan dari kecelakaan dan paparan polusi, menambah kerentanan mereka. Di luar tempat kerja, perempuan juga menanggung beban ganda, karena setelah bekerja seharian di pabrik, mereka masih harus menjalankan tanggung jawab domestik di rumah. Situasi ini menunjukkan bahwa hilirisasi dan ekspansi industri nikel tidak hanya menimbulkan ketimpangan ekonomi, tetapi juga memperdalam ketidakadilan gender di tingkat akar rumput.
Selain menciptakan kesenjangan ekonomi, hilirisasi nikel juga membawa dampak serius terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat, terutama perempuan. Di Halmahera Tengah, Maluku Utara, pencemaran sungai akibat aktivitas tambang nikel telah mengganggu kebutuhan dasar masyarakat, mulai dari air minum, memasak, mandi, hingga mencuci. Dalam struktur sosial dan budaya, perempuan masih memikul tanggung jawab terbesar dalam pekerjaan perawatan dan domestik, sehingga mereka paling sering berinteraksi dengan air. Secara biologis, tubuh perempuan juga lebih rentan terhadap paparan racun karena sistem reproduksi dan hormonal yang lebih kompleks. Kombinasi faktor sosial dan fisiologis ini membuat perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak oleh pencemaran air akibat tambang nikel.
Halmahera Tengah hanyalah salah satu contoh. Di Lamone, petani perempuan menghadapi beban ganda yang semakin berat. Tambang nikel di hulu Sungai Lalindu menyebabkan aliran sungai menjadi tidak stabil dan tercemar, mengganggu akses terhadap air bersih dan aktivitas pertanian sehari-hari. Sebagai buruh dan pengurus rumah tangga, perempuan dihadapkan pada tekanan berlapis, mulai dari kehilangan sumber penghidupan, risiko kecelakaan kerja, hingga kekerasan berbasis gender. Petani perempuan adat juga kerap terancam penggusuran tanpa kompensasi yang adil, memperdalam ketimpangan sosial dan ekonomi. Dalam situasi seperti ini, perempuan tidak hanya lebih rentan, tetapi juga dilemahkan secara sistemik.
Dampak ketimpangan gender dan kerusakan lingkungan akibat hilirisasi nikel akhirnya memicu gelombang perlawanan yang dipimpin perempuan di berbagai daerah. Di Wawonii, misalnya, perempuan seperti Amlia dan Ratna memimpin aksi protes menentang tambang nikel meski menghadapi pencemaran air, debu yang merusak tanaman, serta intimidasi dari aparat. Di Halmahera, aksi protes terhadap kawasan industri nikel berujung pada penangkapan aktivis perempuan seperti Christina Rumahlatu, meski kemudian dibebaskan karena tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Aksi serupa juga terjadi di berbagai wilayah lain. Salah satunya dilakukan oleh Paulina, aktivis Greenpeace yang memprotes tambang nikel dalam kampanye Save Raja Ampat from Nickel Mining di sebuah konferensi nikel internasional di Jakarta. Gerakan-gerakan ini menunjukkan bagaimana perempuan dan masyarakat adat terus berada di garis depan perjuangan lingkungan, melawan ketidakadilan yang ditimbulkan oleh ekspansi industri nikel di Indonesia.
Di Morowali, Sulawesi Tengah, hilirisasi nikel juga membawa dampak berat bagi perempuan lokal. Menurut laporan Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (2024), Ibu E mengalami kesulitan menangkap ikan akibat lalu-lalang kapal batu bara yang mengganggu wilayah tangkap, sehingga mata pencaharian tradisionalnya terhambat. Kebun miliknya juga gagal panen karena debu industri, dan ia mengalami penyakit kulit yang diduga akibat polusi dari aktivitas tambang. Akses air bersih semakin terbatas, memaksanya membeli air hingga Rp20.000 per liter untuk kebutuhan sehari-hari.
Di Morowali Utara, Ibu Y kehilangan penghasilan dari mengumpulkan kerang sungai (meti) karena aktivitas penambangan pasir untuk perusahaan seperti PT GNI, yang merusak habitat sungai. Ia terpaksa beralih menjadi penjual makanan untuk bertahan hidup. Yayasan Tanah Merdeka (YTM) mencatat bahwa perempuan pembela hak asasi manusia di desa Towara dan Tompira tersingkir dari ruang produksi akibat kelangkaan meti, yang sebelumnya menjadi sumber ekonomi utama mereka.
Pencemaran Sungai La oleh limbah perumahan karyawan memperburuk krisis air bersih. Air sumur banyak yang menguning atau bahkan kering saat musim kemarau, membebani perempuan yang bertanggung jawab atas kebutuhan rumah tangga dan perawatan keluarga.
Selain itu, YTM juga menyoroti buruknya keselamatan kerja bagi pekerja perempuan, termasuk ketiadaan ruang laktasi di kawasan industri seperti PT IMIP. Kasus kematian pekerja perempuan Nirwana Selle di PT GNI (2022) dan 21 pekerja di PT ITSS (2023) menunjukkan kelalaian serius dari pihak perusahaan dalam melindungi tenaga kerja.
Solidaritas Perempuan (SP) Palu menilai pencemaran lingkungan dan hilangnya sumber kehidupan perempuan sebagai bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh perusahaan dan dibiarkan oleh pemerintah, bukti nyata bahwa transisi industri tanpa keadilan gender justru memperdalam ketimpangan dan penderitaan perempuan di wilayah tambang.
Pola Umum di Seluruh Indonesia
Pola pertambangan nikel di Indonesia telah berkembang dari sekadar penambangan dan ekspor bahan mentah menjadi industri terintegrasi dari hulu ke hilir. Perubahan ini memang memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi di sisi lain menimbulkan tantangan lingkungan dan sosial yang serius.
Di Pulau Kabaena, misalnya, nelayan dan petani adat Bajau mengalami penurunan pendapatan dan gangguan kesehatan akibat pencemaran laut dan perampasan lahan. Upaya protes yang mereka lakukan kerap berujung pada kriminalisasi. Dampak kerusakan lingkungan akibat tambang nikel juga tidak terbatas di sekitar area tambang, melainkan meluas hingga ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Salah satunya adalah Pulau Labengki. Meskipun Labengki sendiri bebas dari aktivitas tambang, limbah dari kawasan tambang di Konawe terbawa arus ke laut, mencemari perairan dan merusak sumber daya perikanan yang menjadi penopang utama ekonomi masyarakat lokal. Pengerukan bijih nikel dan proses pengolahannya sering menghasilkan limbah yang mengalir ke sungai dan berakhir di laut, memaksa nelayan menghadapi penurunan hasil tangkapan dan degradasi lingkungan pesisir.
Di banyak wilayah, pertambangan nikel juga secara konsisten melanggar hak atas tanah, air bersih, kesehatan, dan partisipasi bermakna, dengan dampak paling berat dirasakan oleh perempuan dan masyarakat adat. Hasil penelitian Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menunjukkan bahwa meskipun hilirisasi berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel dari US$ 4 miliar pada 2017 menjadi US$ 34 miliar pada 2022 (naik sekitar 750%), peningkatan tersebut tidak disertai dengan perlindungan sosial dan lingkungan yang memadai.
Salah satu akar persoalan utama adalah gagalnya implementasi FPIC dan proses hukum yang layak (due process). Meskipun FPIC diakui dalam berbagai instrumen hukum nasional dan internasional, penerapannya di lapangan masih sangat lemah. Kompensasi bagi masyarakat yang terdampak sering kali tidak adil, dan warga yang menolak tambang kerap dikriminalisasi dengan tuduhan pencemaran nama baik, perusakan, atau penghasutan ketika memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Untuk mengatasi situasi ini, diperlukan moratorium penerbitan izin tambang baru, terutama di wilayah hutan dan pulau-pulau kecil yang ekosistemnya rapuh. Menurut KBBI Online, moratorium berarti penundaan atau penangguhan sementara terhadap suatu kegiatan atau kebijakan. Langkah ini penting untuk menghentikan kerusakan lebih lanjut dan memberi ruang bagi evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pertambangan.
Selain moratorium, reformasi kebijakan tambang juga harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat secara aktif, bukan hanya dalam memberikan persetujuan, tetapi juga dalam proses pemantauan dan pengawasan kegiatan pertambangan. Pendekatan ini menjadi kunci agar hilirisasi nikel benar-benar berjalan selaras dengan prinsip keadilan sosial, ekologis, dan gender.
Reformasi kebijakan pertambangan harus menjadikan prinsip FPIC sebagai syarat hukum yang mengikat, bukan sekadar formalitas administratif. Perusahaan tambang wajib menghentikan praktik-praktik yang merugikan masyarakat, melakukan pengendalian pencemaran, menghormati hak atas persetujuan bebas dan terinformasi, serta memberikan kompensasi yang layak bagi masyarakat terdampak. Pemerintah pun seharusnya tidak hanya berfokus pada peningkatan pertumbuhan ekonomi melalui hilirisasi nikel, tetapi juga menempatkan perlindungan lingkungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagai prioritas utama demi mencapai pembangunan yang adil dan berkelanjutan.
Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) perlu ditinjau ulang agar selaras dengan kebijakan yang berorientasi pada keberlanjutan dan keadilan sosial, termasuk perlindungan bagi masyarakat adat dan perempuan. Pemikir gender Lies Marcoes mengingatkan bahwa gender adalah lensa pelengkap yang harus digunakan dalam setiap analisis kebijakan. Sejalan dengan pandangan Nur Rofiah, setiap kebijakan atau rumusan tentang kemanusiaan, keadilan, dan kemaslahatan perlu menjawab dua pertanyaan penting:
- Apakah kebijakan tersebut adil dan maslahat bagi perempuan?
- Apakah kebijakan tersebut tidak memperburuk pengalaman biologis dan sosial perempuan, seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, menyusui, atau memperkuat ketidakadilan gender seperti stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan, dan beban ganda?
Selain reformasi di tingkat nasional, tekanan internasional juga berperan penting. Perusahaan kendaraan listrik (EV) yang membeli nikel dari Indonesia harus menuntut rantai pasok yang menghormati hak asasi manusia dan lingkungan. Investor dan regulator global dapat memperkuat tuntutan terhadap perusahaan tambang nikel untuk mematuhi standar ESG (Environmental, Social, and Governance) serta mewajibkan audit independen terhadap tambang dan pabrik peleburan (smelter) guna memastikan kepatuhan terhadap standar internasional.
Perusahaan kendaraan listrik memiliki daya tawar yang besar untuk menentukan bagaimana nikel diproduksi. Jika mereka hanya membeli dari tambang yang beroperasi secara etis dan berkelanjutan, hal ini dapat menjadi pengungkit kuat bagi perubahan positif dalam tata kelola industri nikel di Indonesia.
Rekomendasi dan Kesimpulan
Perempuan dan masyarakat adat menanggung beban paling berat dari ledakan industri nikel di Indonesia. Suara mereka harus diakui dan diikutsertakan sebagai dasar untuk mewujudkan keadilan dan keberlanjutan yang sejati.
Industri tambang nikel telah meninggalkan luka sosial dan ekologis yang mendalam bagi perempuan. Mereka menghadapi dampak berlapis, mulai dari kerentanan fisiologis hingga ketimpangan sosial yang mengakar. Paparan racun dari limbah tambang, seperti pencemaran air sungai, mengancam kesehatan perempuan yang secara biologis memiliki sistem tubuh lebih kompleks dan sensitif terhadap bahan kimia berbahaya.
Beban domestik yang masih melekat pada perempuan, mengurus air, lahan pertanian, dan keluarga, menempatkan mereka di garis depan krisis lingkungan. Seperti di sekitar Sungai Lalindu, air yang dulu menjadi sumber kehidupan kini tercemar dan tidak lagi layak digunakan. Penggusuran lahan tanpa ganti rugi memperparah penderitaan, merampas mata pencaharian petani perempuan adat dan memperdalam kemiskinan struktural.
Di sektor industri, perempuan yang bekerja di tambang menghadapi eksploitasi sistematis: upah rendah, jam kerja panjang, dan minimnya perlindungan keselamatan. Setelah bekerja seharian di lingkungan berisiko, mereka masih menanggung beban ganda di rumah. Pencemaran air dan udara menambah tekanan, mengganggu kebutuhan dasar seperti air minum, memasak, dan mencuci, menciptakan krisis keseharian yang tidak bisa dihindari.
Ketika perempuan dan masyarakat adat berani bersuara melawan ketidakadilan, mereka sering kali berhadapan dengan intimidasi, ancaman, dan kriminalisasi. Di saat yang sama, masyarakat adat kehilangan tanah, air, dan identitas budaya akibat ekspansi tambang yang mengabaikan hak-hak mereka.
Meskipun hilirisasi nikel meningkatkan nilai ekspor dan pendapatan nasional, keuntungan ekonomi itu tak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia yang ditinggalkannya. Transisi hijau yang adil hanya dapat terwujud jika suara perempuan dan masyarakat adat dijadikan pijakan utama dalam merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan, setara, dan manusiawi.
Daftar Pustaka
Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat. (2024). Dampak Nikel dalam Kehidupan Perempuan di Lingkar Smelter Nikel Morowali. https://www.aeer.or.id/dampak-nikel-dalam-kehidupan-perempuan-di-lingkar-smelter-nikel-morowali/
Bagaskara, B. R. A. (2025). Raja Ampat: Kenapa Pulau-Pulau Kecil Harus Bebas Tambang? Mongabay. https://mongabay.co.id/2025/06/12/raja-ampat-kenapa-pulau-pulau-kecil-harus-bebas-tambang-2/
Climate Rights International. (2024). Nickel unearthed: The human and climate costs of Indonesia’s nickel industry. https://cri.org/reports/nickel-unearthed/
Multatuli Project. (2023). Tambang Nikel Harita di Pulau Wawonii ‘Membunuh Kami Secara Halus’ https://projectmultatuli.org/tambang-nikel-harita-di-pulau-wawonii-membunuh-kami-secara-halus/
Richard Fernandez Labiro (2024). Realitas buruh perempuan dalam industri nikel di Morowali Mongabay. https://tutura.id/homepage/readmore/realitas-buruh-perempuan-dalam-industri-nikel-di-morowali-172774749
Anita Dhewy (2024). Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam. https://www.konde.co/2024/05/cerita-perempuan-terdampak-tambang-nikel-sumber-penghidupan-hancur-kesehatan-terancam/
***
Artikel ini ditulis oleh Diyah Mayasitha (Analyst, Gender Programme) dan Vina Melany (Analyst, Gender Programme), serta disunting oleh Rickdy Vanduwin (Director, Climate Programme).






