Female Genital Mutilation di Indonesia: Ritual Tradisional dan Perampasan Hak Otoritas Tubuh Perempuan
Published on 12/25/2017
Category: Sexuality

“Saya menyunatkan anak (perempuan) saya pada umur tujuh tahun karena perintah agama dan adat. Karena saya orang Makassar, semua (perempuan) harus disunat,” kata Amang, seorang ibu rumah tangga dalam film dokumenter yang diproduksi oleh Yayasan Kalyanamitra bekerja sama dengan Komnas Perempuan dan UNFPA, berjudul “Female Genital Mutilation (FGM) di Indonesia”. Dalam konteks ini, jelas terlihat bahwa praktik Female Genital Mutilation (yang selanjutnya akan disebut sebagai FGM) dilakukan karena tuntutan agama dan adat. Namun benarkah, selain tuntutan tersebut, FGM juga dilakukan karena alasan medis?

Dikutip dari United Nations Population Fund (UNFPA, 2017), FGM atau sunat perempuan merupakan praktik yang melibatkan perubahan atau pelukaan genital perempuan untuk alasan non-medis. Dalam praktiknya, FGM dapat menyebabkan masalah kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk rasa sakit kronis, infeksi, peningkatan risiko penularan HIV, kecemasan dan depresi, masalah persalinan, ketidaksuburan, dan dalam kasus terburuk, kematian. Hal ini diakui secara internasional sebagai pelanggaran ekstrem terhadap hak perempuan.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun 2000, sekitar 100-140 juta anak perempuan dan perempuan dewasa di seluruh dunia mengalami praktik FGM dengan rata-rata 2 juta kasus setiap tahunnya. Praktik FGM masih dapat ditemukan di negara-negara Asia, Afrika, Timur Tengah, seperti Indonesia, Malaysia, India, Kenya, Nigeria, Arab, dan lain-lain.

FGM dalam Dunia Kesehatan

Menurut World Health Organization (WHO), anak perempuan dan perempuan dewasa yang mengalami praktik FGM berisiko tinggi pada gangguan kesehatan jangka pendek dan panjang. Praktik ini tidak dapat diterima dalam perspektif medis dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). WHO secara jelas dan tegas menentang semua bentuk praktik FGM yang dilakukan oleh penyedia layanan kesehatan.

Dampak atau efek jangka pendek yang diakibatkan oleh praktik FGM meliputi nyeri berat pada jaringan genital, pendarahan berlebihan, shock, pembengkakan jaringan kelamin, infeksi, masalah pada pembuangan urin, gangguan penyembuhan luka, gangguan psikologis, dan kematian. Sedangkan pada efek jangka panjang, FGM dapat menimbulkan infeksi genital kronis, infeksi sistem reproduksi kronis, infeksi sistem pembuangan urin kronis, masalah menstruasi, keloid, masalah kesehatan seksual, masalah obstetrik, dan fistula.

FGM diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu (1) tipe I, penghilangan sebagian atau seluruh klitoris dan/atau preputium (klitoridektomi); (2) tipe II, pemisahan klitoris dan labia minora secara parsial atau total, dengan atau tanpa eksisi labia majora (eksisi); (3) tipe III, penyempitan lubang vagina dengan pembentukan segel penutup dengan cara memotong dan memberi aposisi labia minora dan/atau labia majora, dengan atau tanpa eksisi klitoris (infibulasi); serta (4) tipe IV, semua prosedur berbahaya lainnya pada alat kelamin wanita untuk tujuan non-medis, misalnya: menusuk, menusuk, menoreh, mengikis, dan membuat kauterisasi (WHO, UNICEF, UNFPA, 2007).

Klasifikasi Female Genital Mutilation. Foto oleh Cambridge University Press.

Tradisi Kultural dan Pertarungan Sosial Politik

Dalam tradisi kultural di Indonesia, FGM diasosiasikan sebagai pembentukan feminitas perempuan yang utuh dan sempurna. Klitoris dianggap tidak suci karena dapat membawa perempuan pada kekeliruan dan penyimpangan yang akan menjerumuskan. Dengan diangkatnya klitoris dari tubuh perempuan, mereka percaya bahwa ‘syahwat’ perempuan untuk mengejar laki-laki lain selain pasangannya dapat dihindari. Lagi-lagi, dalam konteks kultural, perempuan dikonstruksikan menjadi makhluk yang molek dan tak berhasrat karena fantasi seksual hanya milik laki-laki.

Pembicaraan seksualitas perempuan merupakan diskursus yang tabu dalam masyarakat, sehingga hak-hak perempuan atas kebertubuhannya menjadi terbatas. Dalam buku “The ‘O’ Project” karya Firliana Purwanti, Firliana secara terang-terangan mengkritik heningnya masyarakat dalam isu seksualitas perempuan. Pembatasan seksualitas perempuan juga ia kritik dengan mengemukakan istilah “clitoris envy” yang berbanding terbalik dengan teori psikoanalisis yang dikemukakan oleh Sigmund Freud, yaitu “penis envy”. Firliana menggambarkan FGM sebagai bukti kecemburuan laki-laki terhadap klitoris dan vagina yang perempuan miliki. Kecemburuan ini dianggap karena laki-laki tidak dapat merasakan kenikmatan seksual yang dahsyat dari klitoris, sehingga hal ini mendorong praktik FGM untuk membatasi hak perempuan atas tubuhnya tersebut. FGM sendiri dilatarbelakangi oleh alasan bahwa pemotongan klitoris akan mengurangi libido perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum nikah, menjamin kesetiaan sebagai istri, purifikasi, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki (Assalam, 2013).

FGM, Seksualitas, dan Feminisme Radikal

FGM dapat dikatakan sebagai bentuk represi tradisi patriarkal yang bias kepentingan laki-laki. Kebertubuhan perempuan dikonstruksikan secara kultural, yaitu perempuan harus mengikuti nafsu laki-laki dan pemenuhan hasrat biologisnya harus menunggu ajakan suami. Ini jelas menempatkan posisi perempuan sebagai ‘objek seksual’ yang senantiasa dapat dinikmati oleh laki-laki. Posisi ini yang kemudian akan menghilangkan ‘subjektivitas seksual’ perempuan, sehingga perempuan tidak lagi menjadi subjek, melainkan ia luruh karena diobjektifikasi. Bila dianalisis secara bertele-tele, hal ini juga akan mengakar pada bentuk-bentuk opresi lain terhadap perempuan, misalnya pada bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Seksualitas perempuan tidak seharusnya direpresi. Perempuan harus dapat merebut kembali kontrol seksualitasnya dan merepresentasikan seksualitasnya dengan berani dan tanpa ragu-ragu. Seksualitas perempuan bukan bentuk dari konstruksi seksualitas yang bias kepentingan orgasme laki-laki. Perempuan berhak atas otoritas tubuhnya, bukan orang lain, bukan juga suami maupun kekasihnya. Kebertubuhan merupakan hak otonom bagi perempuan, sebagaimana juga pada laki-laki dan tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun. Paradigma yang ada perlu didekonstruksi, sehingga perempuan dan laki-laki dapat berada pada derajat yang sama.

***

Catatan Kaki

Assalam, M. I. R. (2013). Sunat Perempuan sebagai Bentuk Represi Kebertubuhan Perempuan. Jurnal Perempuan, 18, 87-101.

Tong, R. P. (1998). A Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction, Second Edition. Colorado: Westview Press.

World Health Organization. (2008). Eliminating Female Genital Mutilation: An Interagency Statement. Geneva.

***

Konten ini ditulis oleh Rickdy Vanduwin. Ia adalah seorang pendiri sekaligus ketua Resource Center on Gender, Sexuality and Human Rights Studies Udayana (GSHR Udayana). Selain aktif dalam mengurus organisasi, ia juga merupakan seorang mahasiswa di Universitas Udayana, Bali. Ketertarikannya pada isu gender, seksualitas, dan isu sosial lainnya berhasil menjadikannya sebagai penulis staf di salah satu majalah online internasional di Amerika Serikat, yaitu Affinity Magazine. Temukan ia di sini.

Want to write for us?

Latest articles

Kisah Perempuan dan Masyarakat Adat di Balik Tambang Nikel

Kisah Perempuan dan Masyarakat Adat di Balik Tambang Nikel

Beberapa waktu lalu, berbagai media menyoroti kerusakan lingkungan di Raja Ampat akibat aktivitas pertambangan nikel. Namun, di balik ramainya pemberitaan seputar pariwisata dan lingkungan, dampak sosial terhadap masyarakat adat dan perempuan sering kali luput dari...

Feminising climate governance: Thinking the unthinkable

Feminising climate governance: Thinking the unthinkable

At just 13 years old, Ntoya Sande was forced into marriage due to her family’s food insecurity. Ntoya’s parents originally had a small plot of land, but floods wiped out their harvest. Despite her attempts to negotiate and express her lack of readiness, her parents...

Memahami Permasalahan KDRT di Indonesia

Memahami Permasalahan KDRT di Indonesia

Fenomena dan Definisi KDRT Beberapa waktu belakangan masyarakat Indonesia dikejutkan dengan kasus kekerasan yang dilakukan oleh Rizky Billar pada istrinya Lesti Kejora. Korban dan terlapor merupakan suami istri, terlapor ketahuan selingkuh yang berujung penahanan...

Dimension of Toxic Masculinity in Male Sexual Assault Case at KPI

Dimension of Toxic Masculinity in Male Sexual Assault Case at KPI

Toxic masculinity is a product of oppressive and toxic traditional gender roles. It is when men are expected to conform to inhumane and unrealistic standards of ‘masculinity’—dominant, tough, aggressive, strong, unemotional, etc. Male sexual assault is closely linked...

Solusi Kekerasan Seksual: Kebiri Kimia atau RUU PKS?

Solusi Kekerasan Seksual: Kebiri Kimia atau RUU PKS?

Moderator (M): Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak. Peraturan...

Tradisi Petekan: Tubuh Perempuan yang Dihormati atau Dipatuhkan?

Tradisi Petekan: Tubuh Perempuan yang Dihormati atau Dipatuhkan?

Tidak dapat dielak, masyarakat Indonesia memiliki kedekatan yang kuat dengan tradisi adat. Sesungguhnya, adat adalah tata cara yang didasari pada nilai dan kaidah sosial. Aturan adat tersebut kemudian menjadi sebuah kebiasaan atau tradisi yang sesuai dengan sistem...

Share This